Jumat, 27 Mei 2011

Asal Usul Pohon Sagu dan Palem


Pohon sagu dan palem merupakan jenis tanaman dataran rendah tropik yang banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Dolo, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, asal usul kedua jenis pohon ini berasal dari tubuh manusia atau penjelmaan manusia. Hal ini dikisahkan dalam sebuah legenda yang hingga kini masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat setempat. Bagaimana manusia dapat menjelma menjadi pohon sagu dan palem? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Usul Pohon Sagu dan Palem berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di sekitar mereka.

Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.

“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini terus,” ungkap sang Suami.

Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.

“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk berkebun?” tanya sang Istri.

“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab sang Suami.

“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak mengganggu mereka.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.

“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”

“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang Suami.

Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih baik suatu hari kelak.

“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri kembali bertanya.

“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.

“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.

“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.

Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat setelah hampir seharian bekerja.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.

“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu kepada anaknya.

“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.

“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya hari itu.

“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”

“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami.

Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.

Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak terwujud.

“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.

Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.

Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.

Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.

“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan anaknya.

“Baik, Ayah!” jawab anaknya.



Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati telaga.


“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.

“Ibu..., Ibu.... Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.

“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah.

“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.

Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.

Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua perbuatannya.

“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.

Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.

 
Demikian cerita Asal Usul Pohon Sagu dan Palem dari daerah Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk sifat malas bekerja dan sifat kasar langgar.

Pertama, akibat buruk dari sifat malas bekerja. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku sang Suami yang suka menunda-nunda melakukan pekerjaannya. Akibatnya, dia dan keluarganya senantiasa hidup miskin. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
berkayuh berat pengayuh,
berladang berat parang
bekerja mengeluh,
makan berpeluh

Kedua, akibat buruk sifat kasar langgar. Sifat ini tercermin pula pada sikap dan perilaku sang Suami yang berlaku kasar terhadap istrinya. Akibat perbuatannya tersebut, istri dan anaknya bahkan dirinya sendiri menjelma menjadi pohon sagu dan palem. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda kasar langgar,
lidah tajam mulut pun kasar
binasa diri kasar langgar,
binasa badan kurang ajar

(Samsuni/sas/104/12-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Muhammad Jaruki, Atisah.2001. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sulawesi Tengah,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tengah, dikases tanggal 04 Desember 2008).
Tenas Effendy. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bapedda Tingkat I Riau.
--------. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.


Rabu, 18 Mei 2011

Timun Emas (Jawa Tengah)


Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.

Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.

Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.

Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.

Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.

Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.

Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.

Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa. Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas. Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar. Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati. Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.

Cerita Rakyat "Timun Emas" ini diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana

Selasa, 17 Mei 2011

Asal Usul Nama TUBAN (Jawa Timur)



Raden patah adalah putra raja majapahit. Oleh ayahnya diberi hutan Glagahwangi agar di buka dan dijadikan kadipaten dan di beri nama kadipaten Demak Bimantara. Demak semakin besar banyak kadipaten yg sebelumnya masuk wilayah majapahit bergabung dengan demak. Raden patah juga mendapat dukungan dari para wali penyebar agama islam di jawa. Sehingga demak menjadi semakin kuat dan besar, sehingga menjadi sebuah kerajaan.

Pada suatu ketika raden patah mendengar bahwa kerajaan majapahit diserang Raja Girindrawardhana. dari Kerajaan Daha. Ayah Raden Patah yg menjadi raja Majapahit melarikan diri tak tentu rimbanya. Timbullah kemarahan Raden Patah untuk menyerang kerajaan Daha yg telah menduduki Majapahit. Serangan Raden Patah segera di lakukan dengan mendapat dukungan dari para wali makan dengan mudah mengalahkan Raja Girindrawardhana.

Raden Patah mengumpulkan semua benda berharga dan benda keramat yg ada di Majapahit untuk di bawa ke Demak. Semua benda sudah di kemas dan di masukan ke dalam kereta untuk dibawa ke Demak.

Tinggal 2 batu besar yg akan di bawa ke demak, maka Raden patah bertanya ke prajuritnya, "Aku ingin membawa dua batu ini juga, coba siapa yang mampu membawa dua batu ini ??"
"Maaf Raden tentu tidak ada yang sanggup membawa dua batu itu ke Demak, perjalanan ke demak begitu jauh", kata para wali.

"Biarlah kami para Wali meminta bantuan ke pada 2 burung bangau."

"Maaf burung bangau!! kami butuh bantuanmu untuk membawa dua batu ini ke demak. Kuharap kalian ikhlas membantu kami. Tuhan tentu akan mencatat amal perbuatan kalian," kata sang Wali.

Sang Wali pun menyuruh para prajurit meletakan dua batu di atas punggung burung bangau. Kedua burung itu segera terbang ke arah Demak Bintara.

Tibalah kedua burung ini di atas tanah lapang. Banyak penggembala yg sedang menggembalakan ternak. Para penggembala melihat kedua burung Bangau itu membawa batu di punggung masing masing. "Hei lihat itu diatas!! ada dua ekor burung bangau yang aneh".

"Benar terbangnya sangat lambat seperti jalanya kura kura saja" Kata penggembala yang lain.

Kedua bangau marah, dan segera mengepakan sayapnya lebih cepat. Hasilnya bukan tambah cepat tapi kedua sayapnya semakin lelah. Kedua bangau itu hampir meluncur jatuh karena kelelahan. Akhirnya Kedua bangau itu menjatuhkan kedua batu yg ada di punggungnya agar mereka tidak meluncur jatuh.

Saat kedua batu itu jatuh, para gembala berteriak "Watu Tiban (batu jatuh)! Watu Tiban". Teriakan para penggembala itu didengar banyak orang, sehingga peristiwa tersebut tersebar kemana mana dan menjadi pembicaraan banyak orang. Watu Tiban pun di singkat menjadi tu-ban, dan akhirnya daerah tersebut dinamakan TUBAN .


Dua batu yag menjadi legenda itu masih ada. di batu itu tertuliskan tahun 1400 saka, dan masih di simpan di halaman museum kambang putih tidak jauh dari Alun-Alun kota Tuban dan makam Sunan Bonang.


Catatan:


Adapun versi yang kedua yaitu berarti meTU BANyu berarti keluar air, yaitu peristiwa ketika Raden Dandang Wacana (Kyai Gede Papringan) atau Bupati Pertama Tuban yang membuka Hutan Papringan dan anehnya, ketika pembukaan hutan tersebut keluar air yang sangat deras. Hal ini juga berkaitan dengan adanya sumur tua yang dangkal tapi airnya melimpah, dan anehnya sumur tersebut dekat sekali dengan pantai tapi airnya sangat tawar.

Ada juga versi ketiga yaitu TUBAN berasal dari kata 'Tubo' atau Racun yang artinya sama dengan nama kecamatan di Tuban yaitu Jenu .

Jumat, 13 Mei 2011

RARA MENDUT


di kesunyian pantai Telukcikal di wilayah Kadipaten Pati tersohorlah kelincahan seorang putri duyung Rara Mendut. Ia seorang yatim piatu yang dipelihara hidupnya oleh siwa nelayan kakung putri.Adalah kebiasaan Sang Rara mengikuti siwanya mengembara menundukkan gelombang dan karang, juga badai topan. Jiwa pelaut yang mengalir melalui urat darahnya merupakan keanggunan alam liar yang sangat menantang bagi setiap petualang.

Mendengar kabar angin mengenai Sang Rara, tak kalah Adipati Pragola II yang berkuasa atasKadipaten Pati ikut kesengsem dan berminat menjadikannya sebagai selir di dalam purinya. Akhirnya dengan pemaksaan kekuatan prajurit dirampaslah Rara Mendut dari siwa kakung putrinya.

Di kala masa yang bersamaan sedang meruncinglah hubungan antara Sinuwun Ing Alaga Mataram dengan Sang Adipati yang tidak mau lagi atur bulu bekti ke pemerintah pusat di Kerta. Hal demikian membuat Mataram berencana nggecak perang ke Pati. Kesibukan untuk menyambut tantangan Panglima Besar Wiraguna Jaya Mataram, menyebabkan Sang Adipati tidak dapat langsung memetik keranuman buah Rara Mendut. Rara Mendut sengaja ditempatkan di keputren untuk menjalani didikanunggah-ungguh ndalem kedhaton di bawah asuhan abdi kinasih Ni Semangka dan emban kecil Genduk Duku.

Akhirnya benarlah terjadi hari naas kejatuhan Kadipaten Pati oleh serangan Mataram yang dipimpin Manggala Yuda Wiraguna. Sebagai bukti kemenangan Mataram adalah kepala Adipati Pragola yang terpenggal untuk dipersembahkan kepada Sinuwun Ing Alaga Mataram. Semua kerabat dan keluargaadipati dibantai habis sebagaimana hukum perang yang berlaku saat itu. Segala isi puri Patipun dijarah rayah, bahkan termasuk para putri dan garwa selir diambil paksa sebagai putri boyongan. Demikianlah nasib Rara Mendut bersama para emban dan abdi kinasih puri harus ikut boyong ke Mataram.

Perjalanan para tawanan perang menuju kotaraja itupun dimulai. Meski ditandu oleh prajurit dengan segala pelayanannya, namun tawanan tetaplah tawanan yang telah kehilangan kebebesan dan kemerdekaannya karena sudah menjadi titah dalem bahwa segala hal di dalam kukuban kekuasaan Sang Raja Binatara adalah menjadi milik raja, termasuk para wanita dan prawan-prawannya.

Perjalanan berat dengan ratusan ribu bregada prajurit menempuh jalur arah barat melewati Semarang untuk kemudian membelok ke selatan arah Rawa Pening. Selepas itu kelebatan hutan Boyolali diterabas hingga mencapai gerbang kotaraja di desa Taji. Sepanjang perjalanan umbul-umbul dan panji-panji dikibarkan dengan diiringi genderang kemenangan yang menggema yang selalu disambut meriah warga dusun. Panglima Besar Wiraguna memimpin barisan dengan gagah perkasa menunggah gajah yang tinggi besar sangat berwibawa.

Setelah menyambut kedatangan pasukan kebanggaannya Susuhunan Hanyakrakusuma menyampaikantitahnya. Dan adalah hak seorang raja besar terhadap semua harta pampasan perang dan termasuk semua putri boyongan, namun atas kemurahan dalem dihadiahkanlah Rara Mendut kepada sang Wiraguna. Hmmm…betapa mongkok dada
 Manggala Yuda yang sudah berumur tujuh windu itu. Singkat cerita Rara Mendut akhirnya menjadi putri di puri Wiragunan.

Adalah lumrah hatiwanita yang tak rela sepenuhnya apabila dirinya dimadu, meskipun adat di kala itu menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Wanita adalah milik raja, dan segala titah atas dirinya haruslah disendiko dawuhi. Namun Wiraguna memang panglima tua dengan istri segudang. Adalah Nyai Ajeng sang istri perdanapun adalah anugrah Susuhunan, ditambah lagi Putri Arumardi dari lereng Merapi, Putri Arimbi, Putri Sengsemwulan, Mawarwungu……kurang apa lagi? Pantaslah bila para pendamping pendahulu tersebut cemburu dan membenci Rara Mendut.

Namun bukanlah Wiraguna sang singa di medan laga, jika tidak menginginkan tandingan yang seimbang. Wanita dengan segala kelemahlembutan adalah hal biasa, dan itu semua sudah didapatkannya dari selir-selirnya. Namun wanita dengan naluri keliaran alam dan riak gelombang badai lautan, hanyalah Rara Mendut yang memilikinya.

Kegundahan sang senopati merasakan kegemasan hatinya karena tepukan tangannya yang tidak berbalas oleh Rara Mendut. Maka dengan cara licik atas desakan Nyai Ajeng, diwajibkannya Rara Mendut untuk membayar pajak kepadanya sebesar tiga real sehari. Jumlah uang tiga real bagi orang kebanyakan adalah jumlah yang sangat banyak, dan tidak terbayang oleh Rara Mendut beserta dayangnya bagaimana mendapatkan uang pajak tersebut.

Akhirnya dengan seijin Panglima Wiraguna, Rara Mendut berjualan rokok di muka pasar kotaraja. Berbeda dengan julan rokok kebanyakan, rokok yang dijual Rara berupa tegesan atau puntung rokok. Rokok utuh disulut lalu diisap oleh Rara, nah bekas isapan rokok tersebutlah yang diperebutkan para pembeli. Kok bisa laku?

Bagaimana tidak laku, tegesan yang telah basah dengan ludah sang putri cantik boyongan dari Pati, yang tersohor kecantikannya bagai Dewi Ratih. Namun demikian untuk tetap menjaga wibawa Wiraguna atas putri boyongannya, Rara Mendut hanya diperkenankan jualan rokok di balik tiraijambon hingga para pelanggannya tidak dapat melihatnya secara langsung. Justru tandu berbentuk bilik dengan tirai jambon yang senantiasa dijaga oleh pengawalan prajurit Wiragunan itulah yang menambah penasaran banyak orang untuk merasakan rokok Rara Mendut.

Adalah seorang pemuda putra Nyi Singobarong pedagang kaya dari Pekalongan yang bernama Pranacitra kebetulan ada urusan dagang di kotaraja. Ia sengaja ke kotaraja

 Kerta dengan dikawal Ntir-untir dan Bolu abdi setianya. Mendengar kabar kedai rokok bertirai itupun mereka penasaran, dan ingin mengunjungi sekedar mencicipi rokok Rara Mendut.

Dengan siasat dan tipu daya para abdinya, Pranacitra tidak hanya membeli rokok semata, ia bahkan berhasil bertatap muka dengan sang Rara. Dan akhirnya jatuh cintalah kedua insan tersebut dalam pandangan pertama. Pertemuan-pertemuan sesaat itupun berlanjut.

Akhirnya pada Seloso Kliwon, saat dilaksanakan pertandingan adu jago di Prawirataman, berbondonganlah warga ingin menyaksikan pertunjukan hiburan meriah tersebut. Suasana kemeriahan dengan keruman banyak orang itu dimanfaatkan oleh Pranacitra untuk sedikit memancing kegaduhan hingga terjadilah ontran-ontran di kotaraja. Kerumunan massa menjadi panik, berlarian ke sana ke mari saling bertabrakan.

Kesempatan segera dimanfaatkan Pranacitra untuk membawa Rara Mendut keluar menjauhi kotaraja. Jauh di batas kota, dua insan yang sedang mabuk kepayang dibuai dewa asmara itupun melampiaskan kerinduannya. Dunia serasa hanya milik mereka berdua.

Namun pada saat Pranacitra ingin mengajak Rara Mendut untuk sekalian lari dari Puri Wiragunan, ternyata Rara belum menyanggupinya. Rara masih berat hati karena belum sempat berpamitan dengan Putri Arumardi, sahabat sejatinya yang senantiasa mendengarkan curahan hatinya di saat-saat kesepian di dalam puri. Putri Arumardilah yang senantiasa menguatkan hati Rara, dan mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Akhirnya dengan ditumpangkan pedati pak tani yang membawa hasil buminya ke kotaraja Rara Mendut kembali ke dalem Wiragunan.

Siasat untuk melarikan Rara Mendut kemudian diatur oleh Pranacitra dengan berpura-pura menjadiabdi di Wiragunan. Singkat kisah, karena ketekunan dan kerajinannya dalam menjalankan tugas sehari-hari, Pranacitra menjadi abdi kesayangan Sang Panglima Wiraguna. Hal ini jelas sangat menguntungkan untuk mencari celah saat yang tepat bagi pelariannya dengan Rara Mendut.

Akhirnya saat yang dinanti itupun tiba. Di tengah malam gelap kelam tanpa bulan dan bintang, suara burung uhuk seakan pertanda akan terjadinya peristiwa yang menggegerkan. Dan memang dengan menunggang kuda perkasa milik Sang Panglima, Pranacitra berhasil melarikan Rara Mendut. Adalah Nyai Ajeng yang di kemudian hari bersimpati atas nasib Rara Mendut yang tidak mau diperistri suaminya dibantu Putri Arumardi, turut merencakan pelarian tersebut.
Dan adalah Nyai Ajeng pula yang kemudian melaporkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap Rara Mendut kepada suaminya. Geram Wiraguna merasa kebobolan. Diperintahkannya seluruh pasukan Wiragunan untuk mengejar kedua pelarian hidup atau mati. Kekalutan hati, rasa malu diperdaya dan kehilangan muka yang mendera Sang Panglima tua menjadikannya hilang kesadaran dan jatuh pingsan.

Di keesokan harinya, setelah sadar dari pingsan semalamannya, Wiraguna semakin muntab mendengar laporan pasukannya gagal menangkap Rara Mendut. Akhirnya diputuskannya untuk memimpin sendiri pengejaran.
Bukanlah pasukan Wiragunan jika hanya untuk mengejar dua orang pelarian tidak sanggup menangkap dengan cepat. Prajurit Wiragunan adalah inti pasukan Mataram nan perwira penakhluk Madiun, Surabaya, Pasuruan dan seluruh pesisir pantai utara.

Akhirnya berhasillah dikejar Rara Mendut dan Pranacitra di muara Kali Opak. Pranacitra sang pemuda yang tidak berbekal ilmu kanuragan apapun ditantang Panglima Wiraguna sang senopati perkasa. Seluruh pasukan dan warga yang mengerubungi mereka diperintahkan untuk menjauh dari tepian pasir pantai, hingga mereka hanya bisa melihat dari kejauhan tiga bayangan hitam di keremangan senja pantai selatan tersebut.

Tanpa basa-basi terjadilah perkelahian yang jelas tidak seimbang. Rara Mendut hanya bisa selalu berlindung di balik punggung sang kekasih pujaan hatinya. Akhirnya tak lebih dari sepuluh jurus, Wiraguna berhasil mendesak Pranacitra dan pada sabetan keris selanjutnya berhasillah ditikamnya dada sang Pranacitra. Bersamaan dengan itu Rara Mendut mendekap erat punggung Pranacitra, hingga keris yang menembus sang pangeran cinta ikut menembus dadanya juga.
Tewaslah seketika dua sejoli dengan senyum bahagia disambut dewa-dewi asmara yang sengaja menebarkan aroma wangi bunga surgawi. Sang Wiraguna bersila tertegun merasakan gemuruh dadanya yang sesak mengingat kejadian yang baru terjadi. Diberikanlah penghormatan terakhir sebagai sesama ksatria yang memegang teguh darma harga dirinya, sebelum akhirnya gelombang pantai Selatan menyambut kedatangan dua makhluk pecinta sejati tersebut.

Danau Toba dan Pulau Samosir


Alkisah pada jaman dulu di sebuah desa di Sumatra Utara hiduplah seorang pemuda bernama Toba. Ia hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Para penduduk di desa itu adalah petani. Demikian juga dengan Toba. Walaupun hanya memiliki sepetak sawah berukuran kecil peninggalan orang tuanya, Toba tidak pernah kekurangan. Ia selalu bersyukur atas hal itu meski hidupnya tergolong sangat sederhana.

Pada suatu ketika, desa tempat tinggal Toba dilanda kemarau panjang. Para penduduk kesulitan air. Sawah merekapun mengering. Persediaan di lumbung sudah hampir habis tapi hujan belum juga turun. Kekeringan yang melanda desanya tidak membuat Toba patah semangat. Ia memutuskan untuk ganti haluan sementara. Toba berencana mencari ikan ke laut. Diajaknya para penduduk desa untuk bersama sama melaut.

Pagi itu Toba dan para pemuda lainnya mulai mengumpulkan jala ikan yang mereka punya. Mereka juga menyiapkan perahu yang akan mereka pakai melaut. Setelah semua persiapan lengkap, berangkatlah Toba dan teman temannya sore itu.

Setelah bergantian mendayung beberapa lama, sampailah Toba dan teman temannya di tengah laut. Mereka mulai menebar jaring dan menunggu hasilnya. Angin dingin yang berhembus tak mereka rasakan. Toba dan teman temannya menghabiskan waktu dengan berbincang sambil bersenda gurau.

Setelah menunggu dan menunggu, tak satupun jaring yang mereka tebar bergerak. Hari mendekati pagi. Akhirnya Toba dan teman temannya memutuskan untuk pulang. Dengan rasa lelah dan kecewa yang mendalam, mereka mengangkat jaring dan mendayung ke pantai. Rasa heran menghinggapi sebagian besar benak mereka termasuk Toba. “Heran..mengapa di laut juga paceklik ? kemana ikan ikan di laut ini pergi ?”, tanya Toba dalam hati.

Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka mencoba peruntungan lagi mencari ikan di laut. Tapi sungguh mengherankan, lagi lagi mereka pulang dengan tangan hampa. Bahkan beberapa kali setelahnyapun mereka tetap gagal walau telah berpindah pindah tempat. Ikan ikan itu seolah lenyap ditelan bumi.

Para penduduk mulai putus asa. Mereka terancam kelaparan. Satu persatu keluarga mulai pergi meninggalkan desa. Mereka ingin mengadu nasib di kota.

Toba tetap bertahan di desanya. Ia merasa sedih jika harus meninggalkan rumah dan kampung tempat ia dibesarkan. Kenangan indah bersama orang tuanya membuatnya enggan untuk pergi. Ia berpendapat Tuhan akan memberi rejeki dimanapun mahluknya berada asalkan mereka mau berusaha.

Toba mencoba lagi mencari ikan di laut. Kali ini ia seorang diri karena tak seorangpun yang mau diajak serta. Sore hari Toba berangkat. Ia mendayung perahunya pelan pelan. Ia berpikir harus punya persediaan tenaga yang cukup karena ia harus mendayung sendiri.

Begitu tiba di tengah laut, Toba segera menebar jaring yang dibawanya. Ia menunggu hasil sambil menatap bintang bintang di langit. Malam itu ia merindukan kembali masa kanak kanaknya. Toba terkenang akan kedua orang tuanya yang telah tiada.

Tiba tiba jaringnya bergerak gerak. Toba terkejut. Ia segera menarik jaringnya dengan tergesa gesa. “Berat sekali”, gumamnya. “Kelihatannya aku mendapat ikan yang sangat besar”, pikirnya lagi. Toba tersenyum senang sambil terus berusaha menaikkan hasil tangkapannya ke dalam perahu.

Toba tertegun melihat seekor ikan besar yang berada di jalanya. Seekor ikan besar berwarna keemasan yang sangat cantik. “Ikan apa ini ?”, tanyanya dalam hati. Toba merasa heran karena ia belum pernah melihat ikan seperti itu sebelumnya.

 

Karena hari sudah menjelang pagi, Toba memutuskan untuk mendayung perahunya ke pantai. Rasa lelah dan kantuk membuatnya ingin cepat cepat sampai di rumah. Sambil mendayung, sesekali Toba memperhatikan ikan yang didapatnya. Sungguh aneh, ikan itu kelihatan sangat tenang. Bahkan Toba merasa ikan itu balas menatapnya.

Begitu sampai di rumah, ternyata ikan itu masih hidup. Karena tak tega melihatnya sangat lemas, Toba memasukkannya ke dalam sebuah tempayan besar yang berada di dapur. Ikan itu bergerak perlahan. Terlihat ikan itu sangat senang karena Toba memasukkannya ke dalam air. Toba meninggalkannya dan beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.

Matahari sudah tinggi ketika Toba terbangun. Perutnya terasa sangat lapar karena ia belum makan apapun sejak kemarin sore. Toba segera berjalan ke dapur guna mencari sisa sisa padi simpanannya. Iapun teringat akan ikan yang dibawanya pulang tadi pagi.

Toba sangat terkejut begitu tiba di dapur. Ia melihat aneka masakan terhidang di meja kecil yang terletak di sudut dapur. “Makanan dari mana ini ?”, pikirnya heran. “Siapa yang memasak semua ini ?”. Toba sangat heran. Ia tertegun menatap semua itu.

Rasa lapar yang menderanya membuat Toba melupakan sejenak keheranannya. “Mungkin Tuhan mengirim seseorang untuk mengantar makanan ini untukku”, pikirnya lagi. Ia segera mengambil piring dan mulai makan. Sungguh makanan yang sangat lezat. Belum pernah Toba merasakan makanan selezat itu.

Keesokan harinya  Toba meninggalkan rumah pagi pagi. Ia pergi ke pantai hendak memeriksa kondisi perahunya. Toba tidak putus asa, ia berniat melaut lagi nanti malam. Ia berpikir jika manusia mau berusaha, Tuhan pasti memberi rejeki.

Ketika pulang ke rumah siang harinya, Toba kembali terkejut melihat aneka makanan tersaji di meja kecilnya di sudut dapur. Toba memeriksa seluruh rumah sampai ke halaman belakang, ia tidak menemukan seorangpun. “Aneh sekali”, gumamnya. “Siapa yang mengirim semua makanan ini untukku ?”, tanyanya heran. Tapi lagi lagi Toba melupakan rasa herannya. Rasa lapar yang sedari tadi ditahannya membuatnya memutuskan untuk makan.

Sore hari tiba. Toba bersiap siap untuk berangkat. Nasib sial rupanya belum mau meninggalkan dirinya. Toba pulang dengan tangan hampa. Ia tak mendapat ikan seekorpun.

Siang hari ketika bangun tidur, kejadian yang sama terulang lagi. “Sudah tiga hari ini seseorang menyediakan makanan lezat untukku. Siapakah dia ? Apa maksudnya ?”, gumam Toba penuh rasa heran. Toba makan sambil menyusun suatu rencana. Ia ingin sekali menemukan siapa gerangan yang menyajikan makanan untuknya.

Keesokan paginya Toba pura pura meninggalkan rumah. Ia sekedar pergi menengok sawahnya yang kering. Tak berapa lama Toba kembali. Kali ini ia tidak langsung masuk ke dalam rumah. Toba berjalan mengendap endap menuju pintu dapur dari halaman belakang rumahnya.

Dari jauh Toba mencium bau masakan. “Ada seseorang yang sedang memasak”, pikirnya sambil terus berjalan. Tiba di pintu dapur, Toba mengintip lewat celah celah papan pintu. Ia melihat seorang gadis cantik  sedang sibuk memasak.

Tak sabar Toba segera membuka pintu dan melangkah masuk. Sang gadis terperanjat. Ia membalik tubuhnya dan menatap Toba dengan mimik sangat terkejut. “Siapa kau ?”, tanya Toba. “Bagaimana kau bisa sampai di rumahku… ?”. Gadis itu terdiam sejenak. Sambil menunduk ia berkata “Akulah ikan yang kau temukan di laut tempo hari..”.

Toba segera berjalan melihat ikan yang ditaruhnya di tempayan. Ikan itu tidak ada. “Apa maksudmu ?”, suara Toba agak meninggi. “Bagaimana mungkin ikan bisa berubah menjadi manusia seperti dirimu ?”, tanyanya lagi. Toba masih belum percaya.

“Aku adalah seorang putri yang dikutuk”, kata sang gadis sambil menatap Toba. “Kutukan itu hilang jika ada manusia yang mau memeliharaku”. Akhirnya sang gadis menceritakan asal dirinya dan mengapa sampai ia dikutuk. Toba terkesima mendengar semua ceritanya.

“Tapi darimana kau mendapatkan bahan makanan untuk kau masak ?”, tanya Toba. Sungguh tidak masuk akal mengingat desanya yang sedang dilanda paceklik.  “Aku memang dibekali kemampuan menyediakan bahan makanan untuk kumasak. Kemampuan itu semata mata untuk tanda terima kasih kepada siapapun yang bersedia memeliharaku”, kata sang gadis pelan. “Tapi sekarang kemampuan itu sudah hilang karena kau sudah tahu jati diriku”, lanjutnya lagi.

Toba merasa iba pada gadis itu. Ia mempersilahkan sang gadis untuk tetap tinggal di rumahnya jika ia mau. Sang gadis sungguh senang. “Dari tadi aku belum tahu namamu”, kata Toba. “Namaku Jelita Bang..”, kata sang gadis. “Apa kau tidak keberatan kupanggil abang ?”, tanyanya. “Oh tak mengapa..”, jawab Toba. Ia mulai terpukau akan kecantikan Jelita.

Hari berganti hari. Toba dan Jelita hidup satu atap. Sungguh aneh. Sejak Toba bertemu Jelita, ia selalu mendapat banyak ikan jika melaut.  Para penduduk desa yang lain akhirnya kembali mau melaut bersamanya.

Toba dan Jelita rupanya saling mencintai. Jelita langsung menerima ketika Toba melamarnya. Hanya ada satu syarat yang diajukan Jelita. Ia minta agar Toba berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapapun asal usul dirinya. Tidak juga kepada anak mereka kelak. Toba berkata ia akan memegang teguh janjinya.

 

Pesta perkawinan mereka digelar sangat sederhana. Para penduduk tidak curiga ketika Toba mengakui Jelita sebagai seorang gadis yatim piatu yang berasal dari desa yang sangat jauh. Tak lama setelah pesta usai, hujan turun dengan derasnya. Para penduduk sangat senang karena musim paceklik akan segera usai.

Toba dan Jelita hidup rukun. Mereka adalah sepasang suami istri yang serasi. Pasangan ini dikaruniai seorang anak laki laki yang mereka beri nama Samosir. Samosir adalah seorang anak laki laki yang tampan. Badannya tegap seperti ayahnya. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Samosir kini telah berusia 10 tahun.

Sehari hari Toba bertanam padi di sawah. Pekerjaan yang telah dilakoni keluarganya turun temurun.  Tiap siang, Jelita selalu membawakan makanan untuk suaminya. Terkadang Samosir dibawanya serta. Kesempatan itu mereka gunakan untuk bercengkrama.

Pada suatu ketika, Jelita merasa tidak enak badan. Ia meminta Samosir untuk membawakan makanan untuk ayahnya. Samosir tidak keberatan. Ia bahkan sangat senang bisa berjalan jalan sendiri tanpa ibunya. Ia merasa dirinya sudah besar.

Dalam perjalanan, Samosir bertemu dengan teman temannya yang mengajaknya bermain. Tanpa pikir panjang ia langsung bergabung dengan mereka. Samosir lupa akan tugas yang diberikan ibunya. Hari sudah menjelang sore ketika Samosir teringat akan makanan ayahnya. Dengan setengah berlari, Samosir bergegas ke sawah.

Sampai disana dilihatnya ayahnya sedang terduduk lemas di pinggir sawah. “Dari mana saja kau ? mana ibumu ?”, bentak Toba marah. Ia sangat lapar. Samosir takut sekali. Belum pernah ia melihat ayahnya semarah itu.

“Ibu sakit, Pak…”, kata Samosir sambil menunduk. “Ibu minta tolong aku untuk mengantar makanan ini”. “Kenapa kau lama sekali…?”, sergah Toga. Marahnya belum reda. “Maafkan aku Pak. Aku lupa. Aku asyik bermain dengan teman temanku”, suara Samosir bergetar menahan tangis. “Ya sudah. Bawa kemari makanan itu”, kata Toba. Suaranya mulai melunak. “Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu ini. Hampir pingsan bapakmu ini kau buat..”. Sore itu, ayah dan anak berjalan pulang dalam kesunyian. Mereka memilih untuk diam.

Keesokan harinya Jelita belum sehat. Ia belum kuat untuk mengantar makanan buat suaminya. Jelita minta tolong Samosir sambil berpesan agar jangan terlambat. Toba telah menceritakan kealpaan Samosir kemarin kepadanya.

Siang itu udara sangat panas. Matahari bersinar begitu teriknya. Samosir merasa dirinya lelah. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah pohon. Angin semilir membuatnya tertidur. Hari sudah menjelang sore ketika ia terbangun.

Alangkah terkejutnya Samosir ketika menyadari dirinya kembali terlambat membawakan makanan untuk ayahnya. Lebih terlambat dari kemarin bahkan. Tanpa kenal lelah Samosir berlari menuju ke sawah. Dari jauh ia melihat ayahnya sedang duduk sendirian di pinggir sawah.

“Darimana saja kau ?”, teriak ayahnya begitu melihat kedatangan Samosir. “Kau  sengaja membiarkan aku kelaparan disini ??”, bentaknya lagi. Hari yang panas membuatnya sangat lelah. Emosinya tak terkontrol lagi.

“Kenapa kau diam saja ?”, kembali Toba membentak anaknya. Samosir tak mampu menatap ayahnya. Apalagi berkata kata. Ia hanya diam menunduk. “Jawab !!”, suara Toba terdengar menggelegar. Dengan penuh amarah ia meraih bungkusan makanan yang dibawa anaknya dan melemparnya ke sawah. “Dasar anak ikan..!!”, ujarnya lagi. Tangannya sampai gemetar menahan marah.

Samosir terkejut mendengar makian ayahnya. “Kenapa bapak bilang aku anak ikan ?”, tanyanya dengan berurai air mata. “Memang kau anak ikan..!!  Ibumu itu dulunya seekor ikan..!!”, jawab Toba dengan nada tinggi. Samosir berbalik arah dan berlari meninggalkan ayahnya. Toba terkesiap. Seketika itu juga ia sadar telah melanggar janji. Toba segera berlari menyusul sambil memanggil manggil anaknya. Samosir tak mendengar. Ia terus berlari sambil menangis.

Tiba di rumah Samosir masih saja menangis. Bahkan tambah keras. Jelita yang sedang berbaring terkejut melihat anaknya yang pulang sambil menangis. “Kenapa kau nak ?”, tanyanya lembut sambil membelai rambut Samosir. “Kata bapak aku anak ikan bu…”, kata Samosir sesegukan. “Apa benar ibu dulunya seekor ikan ?”, tanya Samosir sambil menengadah menatap wajah ibunya. Airmatanya mengalir deras.

Bagai tersambar petir Jelita mendengar penuturan anaknya. Jantungnya berdegub kencang. Wajahnya pucat. Toba yang baru tiba di depan pintu rumahnya tak mampu berbuat apa apa melihat istri dan anaknya yang berpelukan sambil menangis. Jelita yang menyadari kedatangan suaminya segera berkata “Mengapa abang melanggar janji… ??”, tanyanya dengan nada kecewa yang mendalam. “Rupanya kebersamaan kita ditakdirkan hanya sampai disini..”, kata Jelita pelan. Ia menuntun Samosir berjalan keluar rumah.

“Maafkan abang, Jelita..”, kata Toba sambil berusaha menahan kepergian istri dan anaknya. “Terlambat bang…”, jawab Jelita tegas. “Aku harus pergi meninggalkanmu. Samosir kubawa serta..”, jawab Jelita sambil terus berjalan meninggalkan rumah. Samosir yang tak mengerti hanya diam saja.

Toba berteriak teriak memanggil  istri dan anaknya. Jelita dan Samosir tak bergeming. Mereka terus berjalan. Tak berapa lama kemudian langit gelap gulita. Hujan turun dengan derasnya. Kilat menyambar nyambar menyilaukan mata.

Sungguh aneh. Hujan deras tak jua mau berhenti. Desa tempat tinggal Toba tenggelam dibuatnya. Genangan air makin lama makin melebar. Itulah yang dikenal sebagai Danau Toba sekarang.

Ketika banjir melanda, Jelita dan Samosir telah tiba di sebuah dataran yang tinggi. Mereka tidak ikut tenggelam. Dataran itu sekarang dikenal sebagai Pulau Samosir yang berada ditengah tengah Danau Toba.